Senin, 30 April 2012

Eksistensi Kehidupan dalam Lembar Kain Batik

 ILUSTRASI
MEDIA INFORMASI - Dengan memberikan apresiasi dari kondisi hidup, ketekunan hidup,dan karya-karya batik Bude Sulasmi telah menginspirasi kami dalam melahirkan karya-karya kami. Ketika kami menyentuh jari-jemari para pembatik itu, kami merasakan sentuhan yang indah
Setiap kali mendatangi perajin batik di Dusun Kebon Indah, Kecamatan Bayat, Klaten Bude Salami selalu menyambut dengan jabat tangan . Telapak tangan dan jari-jarinya terasa selalu hangat, meskipun terlihat jari-jarinya selalu lengket oleh lilin lebah yang digunakan untuk membuat batik tulis. "Kotor-kotor," katanya dengan ucapan permintaan maaf penuh rendah hati. .   
Sederhana dan terkesan biasa saja apa yang diungkapkan dua perupa Samanta Tio (Singapura) dan Budi Agung Kusworo (Yogyakarta) dalam katalog pameran karya rupa batik yang berlangsung di ruang pamer (Indonesia Contemporary Art Network), Jl Surayodiningratan, Yogyakarta.
Namun perjumpaan dua perupa itu dengan Bude Lasmi perempuan pembatik tradisional dan juga pembatik-pembatik lainnya,  adalah sebuah proses dari sebuah karya rupa batik kontemporer yang memberi wacana lain dalam khasanah estetika batik.
Ya, sekali lagi pameran ini seperti meneguhkan bahwa proses merupakan kunci dari sebuah karya seni. Sikap hidup, pergaulan dan pergulatan sosial, sangat mendasari penciptaan karya dua perupa ini. "Dengan memberikan apresiasi dari kondisi hidup, ketekunan hidup,dan karya-karya batik Bude Sulasmi telah menginspirasi kami dalam melahirkan karya-karya kami. Ketika kami menyentuh jari-jemari para pembatik itu, kami merasakan sentuhan yang teramat indah," kata Budi Agung.
Cita rasa berbudaya
Itulah proses, adalah sebuah refleksi perjumpaan demi perjumpaan, penghayatan demi penghayatan, yang akhirnya melahirkan  sebuah cita rasa yang sangat berbudaya. Inilah proses kesenian, yang sangat beda dengan proses sebuah agenda politik, ekonomi, hokum dan lainnya. Atau dengan pengertian lain,pameran ini- meskipun dalam skala kecil- bisa  menunjukkan bahwa kebudayaan bisa menjadi pandangan hidup bagi kehidupan.
Dua perupa ini dalam melahirkan karyanya, memang berkolaborasi dengan ibu-ibu pembatik asal Desa Kebon Indah, Kecamatan Bayat Klaten. Membuat pameran batik kontemperer, batik eksperimen yang menurut istilah mereka sebagai proyek seni. Layak pengakuan mereka, pameran  berbasis hubungan social. Intinya dua perupa itu ingin mengangkat kehidupan para pembatik perempuan desa, dalam karya batik yang merupakan perpaduan antara realisme fotografi dan karya batik.
Dalam Pameran  bertema "Malam Di Jari Kita " yang berlangsung sejak 7April hingga 7 Mei itu, dua perupa menempatkan potret diri para pembatik,sebagai obyek dari sebuah karya batik. Awalnya si perupa menempatkan potret diri si pembatik ke dalam  bahan kain yang akan di batik. Kemudian si perupa mengarahkan para pembatik untuk mencoretkan motif-motif batik yang mereka kuasai ke dalam kain yang sudah ada potret diri mereka.
Yang terjadi kemudian adalah sebuah karya batik dekoratif yang indah dan unik, yang sangat lain dengan motif-motif kain batik yang ada selama ini. Misalnya dalam karya berjudul Lintas Generasi, di sana dua orang ibu dan anaknya berpose bersama. Hanya wajahnya saja yang asli sebagai hasil jeperetan fotografi. Namun seluruh tubuhnya sudah dihiasi oleh motif-motif batik yang variatif. Si ibu menjadi berpenampilan memakai rok motif batik dalam satu motif dan blusnya berhiaskan motif batik yang lain.
Demikian juga si anak, tampil dalam tatanan busana mengenakan rok dan blus yang memiliki motif berbeda. Sementara di latar belakang terdapat corak-corak berbagai  motif yang menumbuhkan keindahan yang sangat nyata.Motif-motif latar belakang itu yang secara bebas ditorehkan oleh para pembatik desa itu.
Karya lain, ada pose seorang ibu dengan dandanan dan pakaian yang bersahaja, sedang membatik, sementara di latar belakangnya awan biru dengan mega-mega putih. Seolah-olah ibu pembatik itu terbang diangkasa biru. Seperti sebuah simbolik, produk batik seperti mengangkasa menjadi produksi konsumtif yang mahal, namun si pembatik tetap saja sederhana kalau tidak boleh dibilang miskin.
14 karya
Ada 14 karya dipamerkan semuanya memiliki nuansa kreatif sebagai wajah baru dari sebuah produk batik. Eksistensi   Diungkapkan oleh Amalinda Savirani selaku Humas dalam pameran ini, perpaduan fotografi dan batik dalam pameran ini, merupakan proses perjalanan seni oleh dua perupa bersama para pembatik.
"Setiap dua perupa itu melihat kain batik, muncul pertanyaan siapa dan bagaimana kehidupan di balik eksistensi batik yang merupakan produk budaya kebanggaan Indonesia sebagai produk  heritage," katanya.
Menurut Amalainda, pameran ini  proyek senirupa berbasis hubungan sosial yang menempatkan kehidupan dan tangan-tangan terampil di balik eksistensi batik. Artinya orang-orang desa sebagai pembatik, di samping ditampilkan potret dirinya juga diberi kebebasan untuk mengekspresikan dirinya dengan mencoret-coretkan kemampuannya sebagai pembatik.
"Prinsipnya dalam pameran ini benar-benar ingin menampilkan wajah pembatik yang memang tak memiliki otoritas atas karya-karyanya,  ditempatkan sebagai yang utama. Sesuatu yang mungkin tidak pernah mereka bayangkan sepanjang perjalanan hidupnya sebagai pembatik," katanya.
Salah satu perupanya, Budi Agung Kusworo menyatakan, dalam pembukaan pameran ini, , dirinya sengaja menyediakan satu bus, untuk membawa semua pembatik dari Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah itu untuk ikut hadir. "Biar mereka bisa menyaksikan karya - karya batik yang diangkat dari kehidupan mereka," katanya.
Pembatik dari Desa Kebon Indah, Bayat, Klaten ini adalah pembatik klasik yang berada dalam wilayah kerajaan yang disebut "vorsetenlanden" yakni wilayah yang meliputi kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Produk dari wilayah ini adalah batik klasik yang ditandai oleh warna dan motif yang khas dari wilayah "vorstenlanden"  yakni warna coklat alami yang cenderung coklat soga dan warna biru indigo, dan motif batik keratin seperti motif parang dan wahyu tumurun.
Dalam tulisan penghantar pemaran ini, perupa Tita Rubi dan Angkasa menyatakan, salah satu bagian tak terpisahkan dari internasionalisasi seni rupa dewasa ini adalah pemusatan infrastruktur dan aktivitas seni rupa di wilayah perkotaan. Internasionalisasi membakukan pemusatan infrasruktur senirupa baik itu galeri, museum, sekolah, balai lelang dan sebagainya.
Infrastruktur ini bekerja seperti membakukan, bagaimana berpameran dan lelang harus diselenggarakan, bagaimana senirupa harus dibuat dan bagaimana kritik harus menulis. Bisa dikatakan sejarah senirupa dewasa ini tengah disusun dan berjalan sebagai sejarah kehidupan wilayah dan komunitas kota.         
"Pameran ini lebih bertendensi sikap partisipatoris. Membangun hubungan selama dan sedalam-dalamnya dengan komunitas desa dan bekerja bersama-sama. Tak ada kedudukan tinggi bagi seniman. Melalui proyek ini dua perupa itu tengah menawarkan sesuatu langkah kreatif yang berani untuk menggeluti persoalan-persoalan," katanya.