Minggu, 13 Mei 2012

 Cultuur=Tandur=Keseharian Jrabang
 
HEADLINE NEWS - Pameran Lukisan Jrabang - Pengunjung melihat lukisan karya Bibit "Jrabang" Waluyo yang digelar dalam pameran bertajuk CultuurTandur di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (10/5/2012). Lukisan Jrabang dengan teknik sungging tampil sederhana namun memiliki retorika visual yang kuat. Pameran berlangsung hingga 19 Mei 2012.
Melalui teknik sungging yang rapi, Bibit ”Jrabang” Waluya menyuguhkan keseharian orang Jawa dalam pameran bertajuk ”Cultuur Tandur” di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan, 10-19 Mei 2012. Kadang jenaka, kadang satir, kadang sinis, Jrabang memainkan berbagai paradoks kehidupan orang Jawa yang gamang merasa kehilangan ”kejawaan” mereka.
Si bapak yang sedang menggendong orok tersenyum lebar ketika anak lelaki menaruh ”helm” bakul nasi kepala si bapak. Si bapak tersenyum, meski kakinya dikerubuti dua anak lainnya, meski di belakangnya ada anaknya yang lain lagi mengacung-acungkan centong.
Si ibu yang duduk di hadapan si bapak itu juga tersenyum meski empat anak yang lain merubungnya. Seorang tidur di pangkuan si ibu, seorang menyisir rambat panjang si ibu, seorang meliliti si ibu dengan sampur, seorang lainnya bermain-main dengan tudung saji.
Lukisan berjudul ”Keluarga Berencana” (2012) itu merupakan satu dari 13 karya Bibit ”Jrabang” Waluya yang dipamerkan. Satu dari lukisan-lukisan Bibit yang selalu memancing senyum melihat bagaimana Jrabang memainkan kontras ”Keluarga Berencana” dan ”banyak anak banyak rezeki”.
Dengan ”biasa”, Bibit menaruh segala peralatan makan keluarga besar itu sebagai mainan anak-anak. Begitu ”biasa” sehingga mungkin orang akan lupa bertanya, ”Mana nasi isi cething (bakul) itu?”
Kontras yang lain, antara guyub dan kesendirian, tampak dalam lukisan 12 orang yang sedang merubungi sebuah tampah dan berlomba memakan urap-urap di tampah dalam karya ”Tajamu’an” (2012). Di sebelah mereka, seorang lainnya tersendiri dari reriuhan menyantap urap-urap itu karena sibuk bercakap lewat telepon genggam.
Gudangan atau urap-urap acap terlihat di berbagai selametan atau kenduri di desa-desa. Orang bersama lewat telepon genggam pun bukan hal baru di kampung-kampung. Di kanvas Jrabang, kebersamaan dicuatkan bersamaan dengan keterpisahan. Telepon genggam memang selalu mendekatkan yang jauh, dan menjauhkan yang dekat.
Lukisan keluarga lainnya, ”Brayut Family” juga lebih dari yang sekadar terlihat. Lukisan itu mirip dengan foto keluarga tempo doeloe, ayah dan ibu duduk dikelilingi anak-cucu mereka. Ada anak atau menantu yang berseragam tentara, berseragam pegawai negeri sipil, berbaju sekolah, bahkan cucu di pangkuan si kakek pun berbaju tentara.
Dalam katalog pameran, penulis Setyawan mengulas tentang karya Jrabang. ”Brayut Family” adalah representasi literasi visual yang bergerak di antara pengalaman empiris si seniman... orang berseragam militer bukan semata-mata anggota keluarga yang militer... seragam dikenakan menjadi atribut sosial di mana si pemakai menambatkan identitas,” tulis Setyawan.
”Ingkung Garuda”
Jrabang melukiskan semuanya dengan teknik sungging, mirip dengan teknik melukis wayang kulit atau wayang beber. Tidak ada perspektif ruang dalam lukisan orang-orang biasa berwajah wayang dan beranatomi wayang. Yang ada justru ruang kanvas yang disisakan kosong yang membolak-balik kelaziman, menampilkan paradoks keseharian hidup orang Jawa.
Orang Jawa dan keseharian mereka adalah pusar proses kreatif Jrabang yang gelisah melihat orang berbondong-bondong mencari masa lalu kebudayaan Jawa yang konon adiluhung. ”Padahal, ’kebudayaan Jawa yang adiluhung’ itu hanya seremoni. Apa fungsi ’kebudayaan Jawa yang adiluhung’ bagi keseharian orang Jawa? Bagi saya, kebudayaan adalah keseharian hidup,” kata Jrabang.
Simbol dan penanda ”kebudayaan Jawa” di tangan Jrabang terolah menjadi beragam rupa, menyuguhkan komedi, parodi. ”Ingkung Garuda” yang dilukis Jrabang pada 2008 bahkan memunculkan sinisme Jrabang melihat persoalan sosial Indonesia.
Ingkung merupakan masakan khas Jawa yang lazimnya berbahan daging ayam yang dimasak utuh sebagai sesaji. Namun, ingkung di kanvas Jrabang adalah burung garuda itu terkulai ambruk beralaskan perisai bersegi lima berwarna merah, putih, dan hitam. Ingkung burung garuda itu dirubung berpuluh lalat, seperti daging busuk.
Namun, pesona Jrabang adalah kejenakaan, keriangan yang muncul dari lukisan keseharian orang berwajah dan bertubuh wayang. Kejenakaan yang bercerita segala paradoks ”kebudayaan Jawa” yang membuat kita tersenyum diam-diam. Dan malu-malu.