Basarnas melakukan komunikasi radio di kaki Gunung Salak, Sukabumi, Jawa
Barat, dalam upaya pencarian pesawat Sukhoi Superjet 100, Kamis
(10/5/2012). Pesawat Sukhoi Superjet 100 jatuh di Gunung Salak Sukabumi,
Jawa Barat, Rabu 3 Mei lalu saat melakukan demo penerbangan yang
disebut Joy Flight.
HEADLINE NEWS - Boleh dikata Gunung Salak yang ada di Kabupaten Sukabumi dan
Kabupaten Bogor, Jawa Barat, adalah sebuah "kuburan" pesawat terbang
karena sudah sering kecelakaan pesawat terjadi di gunung ini.
Bahkan,
banyak orang yang mengaitkan gunung ini dengan hal-hal mistis, di
antaranya karena selimut tebal kabut di gunung ini yang bagi sebagian
orang dianggap misterius.
Namun, secara logika, kabut tebal di
gunung ini memang secara tidak langsung akan mengganggu perjalanan
pesawat terbang seperti terjadi pada pesawat buatan Rusia, Sukhoi
Superjet (SJJ) 100 yang diduga menabrak tebing gunung ini.
Bagi
pegiat alam bebas, karakteristik gunung tersebut terbilang unik
dibandingkan gunung-gunung lain di Pulau Jawa. Karakteristiknya
menyerupai gunung di Bukit Barisan yang membelah Sumatera.
Gunung
Salak juga menelan banyak korban dari kalangan pendaki gunung. Medannya
yang ekstrem ditambah hutan yang lebat membuat orang yang kurang
memahami alam bebas, tersesat.
Mengutip Wikipedia, hutan di Gunung Salak terdiri dari hutan pegunungan bawah (
submontane forest) dan hutan pegunungan atas (
montane forest).
Bagian bawah kawasan hutan, semula adalah hutan produksi kelolaan Perum Perhutani.
Di antara jenis pohon yang ditanam di sini adalah tusam (
Pinus merkusii), rasamala (
Altingia excelsa).
Pada beberapa lokasi, terutama arah Cidahu, Sukabumi, ditemukan pula jenis tumbuhan langka bernama
Rafflesia rochussenii yang menyebar terbatas sampai Gunung Gede dan Gunung Pangrango di dekatnya.
Bukan jalur penerbangan
Lalu, mengapa Gunung Salak disebut sebagai "kuburan" pesawat terbang?
Dari catatan sejumlah media
online, di gunung yang masuk ke wilayah Taman Nasional Gunung Salak Halimun ini memang kerap terjadi rangkaian kecelakaan pesawat.
Pada
15 April 2004, pesawat Paralayang Red Baron GT 500 milik Lido Aero
Sport, jatuh di Desa Wates Jaya, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor.
Tiga orang tewas akibat kecelakaan ini.
20 Juni 2004, pesawat
Cessna 185 Skywagon, jatuh di Danau Lido, Cijeruk, Bogor. Lima orang
tewas. Kemudian pada Juni 2008, pesawat Casa 212 TNI AU jatuh di Gunung
Salak di ketinggian 4.200 kaki dari permukaan laut. Kecelakaan ini
menewaskan 18 orang.
30 April 2009, tiga orang tewas setelah
kecelakaan terjadi pada pesawat latih Donner milik Pusat Pelatihan
Penerbangan Curug jatuh di Kampung Cibunar, Desa Tenjo, Kecamatan Tenjo,
Kabupaten Bogor.
Selanjutnya yang terakhir ini, pesawat SSJ-100 buatan Rusia berpenumpang 46 orang jatuh pada 9 Mei 2012.
Sejumlah kalangan keheranan mengapa Sukhoi yang malang ini turun ke ketinggian yang justru di bawah tinggi gunung.
Staf
Ahli Menristek Bidang Pertahanan Keamanan Hari Purwanto bahkan
menyatakan penerbangan melalui kawasan Gunung Salak seharusnya tidak
dilakukan pada ketinggian 6.000 kaki karena tinggi gunung itu sendiri
sekitar 2.200 meter. Belum lagi awan tebal selalu meliputi pegunungan
itu.
"Biasanya penerbangan dari Halim menuju Pelabuhan Ratu di
ketinggian 12.000 kaki dan standar minimum 8.000 kaki, tapi Sukhoi ini
terbang dari ketinggian 10.000 kaki, mengapa turun ke 6.000 kaki?" kata
Hari Purwanto di Makassar, Kamis.
Pesawat Sukhoi Super Jet 100 buatan Rusia yang sempat hilang kontak saat
joy flight
dari Halim Perdanakusuma ke Pelabuhan Ratu diperkirakan menabrak
pinggir tebing Gunung Salak. 45 orang yang menumpangi pesawat ini
diperkirakan tewas.
Hari menyebutkan tiga faktor yang mungkin
menyebabkan sebuah pesawat jatuh di Gunung Salak. Ketiganya adalah
faktor cuaca, faktor kesalahan manusia, dan faktor kelaikan pesawat.
Ia
mengingatkan bahwa jalur penerbangan Bandara Halim Perdanakusuma ke
Pelabuhan Ratu via Gunung Salak bukan jalur penerbangan. Pun bukan area
aman untuk penerbangan, apalagi bagi pilot yang tidak terlalu mengerti
medan di sana.
Pesawat Sukhoi yang telah dipesan penerbangan
swasta Indonesia untuk penerbangan komersial itu diakuinya sudah diuji
di sejumlah negara lain sebelum diuji di Indonesia, seperti Myanmar atau
negara yang pasarnya terbuka bagi pesawat di luar Boeing, Airbus, dan
lainnya.
Hari mengungkapkan, pada masa lalu, semua pesawat yang akan digunakan di Indonesia harus melalui kajian atau
review teknologi dari BPPT. Namun, sejak satu dekade ini
review itu tidak dilakukan lagi.